17 Maret 2009

Ketika Doa Tidak Dikabulkan…

Sayyidina Ali berkata, “Sesungguhnya hatimu telah berkhiaant kepada Allah dengan delapan hal, yaitu:

1. Engkau beriman kepada Allah, mengetahui Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Maka, tidak ada manfaatnya keimananmu itu.

2. Engkau mengatakan beriman kepada Rasul-Nya, tetapi engkau menentang sunnahnya dan mematikan syari’atnya. Maka, apalagi buah dari keimananmu itu?

3. Engkau membaca Al Qur’an yang diturunkan melalui Rasul-Nya, tetapi tidak kau amalkan.

4. Engkau berkata, “Sami’na Wa Aththa’na (Kami mendengar dan kami patuh), tetapi kau tentang ayat-ayatnya.

5. Engaku menginginkan syurga, tetapi setiap waktu melakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari syurga. Maka, mana bukyi keinginanmu itu?

6. Setiap saat engkau merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah, tetapi tetap engkau tidak bersyukur kepada-Nya.

7. Allah memerintahkanmu agar memusuhi syetan seraya berkata, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh bagi(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanay mengajak golongan supaya mereka menjadi penghuni neraka yang nyala-nyala” (QS. Al Faathir [35] : 6). tetapi musuhi setan dan bersahabat dengannya.

8. Engkau jadikan cacat atau kejelekan orang lain didepan mata, tetapi kau sendiri orang yang sebenarnya lebih berhak dicela daripada dia.

14 Maret 2009

Review Kecintaan anak pada kitabullah, menyelamatkan generasi Islam

by :TIM Redaksi Media Muslim.Info

Para Dai, para khotib, para aktifis Islam telah berkali-kali menyampaikan bahwa anak adalah generasi Islam masa depan yang harus kita jaga dan kita tanamkan Aqidah dan Akhlaq Islam semenjak dini. Namun disatu sisi (bahkan juga terdapat dari kalangan penyeru tadi), sering secara sadar atau tidak sadar, telah memunculkan upaya untuk merusak generasi Islam tersebut. Mulai dari acara-acara lomba nyanyi anak "Islam", lomba fashion show anak "Islam", dan masih banyak acara-acara lainnya yang selalu menggunakan label Anak "Islam".

Begitu mudahnya kita menemui anak-anak Islam dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu, bahkan nyanyian orang dewasa. Dan begitu asingnya anak-anak yang mengenal Agamanya, yang bisa membaca Al Qur'an dengan baik yang benar, yang mengetahui tentang Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berserta tuntunannya.

Mengenai senandung, sebenarnya perkara ini bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh sebelumnya Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkannya, yang artinya: “Akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat musik.” (HR: Bukhari dan Abu Daud)

Asy Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini: “Bahwasannya akan ada suatu kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina, memakai sutera asli, minum khamar, dan musik itu halal, padahal haram.” (Kaifa Nurabbi Auladana 47)

Mari kita renungkan didalam hati ini, apakah yang telah kita lakukan terhadap anak-anak, adik-adik, kemenakan, dan generasi muda Islam yang pembinaan dan pendidikannya berada dibawah tanggung jawab kita. Sudakah kita berupaya keras mendekatkan mereka dengan Syariat Islam? Adakah upaya kita menanamkan kecintaan anak terhadap Kitabulloh serta himbauan dan tuntunan untuk mengamalkannya? Ataukah kita hanya sekedar memberikan tawa gembira kepada mereka dengan mengadakan acara lomba senandung anak "Islam" atau lomba fashion show anak "Sholeh/ah"?

Jika kita ingin melihat sejarah umat Islam ini lebih dalam lagi, maka kita akan menengok generasi muda Islam terdahulu yaitu di zaman Salafus Sholeh (zaman para shohabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in). Sungguh alangkah indahnya di masa itu.

Memang sungguh sulit dan tidak bisa apabila generasi kita sekarang dibandingkan dengan mereka. Sungguh jauh sekali kita dibanding mereka, tapi seharusnya kita berusaha meneladani mereka sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal tersebut.

Generasi terbaik ummat ini telah memberikan teladan pada kita dalam masalah ini. Betapa tingginya semangat mereka dalam mengarahkan perbuatan anak-anak mereka agar selaras dengan Kitabullah. Kita bisa dapatkan para shahabat telah mengajarkan Al Qur’an sejak dini pada anak-anak mereka dan semua itu tidak lepas karena ittiba’ mereka kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “… akan tetapi jadilah kalian orang-orang rabbani karena apa yang kalian ajarkan dari Al Kitab dan karena yang kalian pelajari darinya.” (QS: Ali Imran: 79)

Dari Hadits Utsman radhiallahu 'anhu secara marfu’ bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR: Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5027)

Maka berikanlah perkara-perkara yang baik kepada mereka, ajarkan dan biasakanlah pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa melantunkannya dan timbul kecintaan pada hati-hati mereka dengan memahamkan makna-maknanya.

Al Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata: “Mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati mereka sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami (dipenuhi) oleh kekotoran maksiat dan kesesatan” (Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Tifl 104)

Mengajarkan Al Qur’an bukan sekedar membaca lafadh-lafadhnya dan menghapalkannya, namun melalaikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Seharusnya kita mengajarkan Al Qur'an dengan disertai keterangan yang mencukupi.

Salah satu sejarah yang bisa kita jadikan pelajaran bagi pendidikan anak Islam yang merupakan buah dari terasahnya kecerdasan dan kepekaan terhadap kandungan makna Al Qur’an adalah kisah pendidikan Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dia berkata kepada ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash: “Wahai ayahku, bagaimana pendapat ayah tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Yakni orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” (QS: Al Ma’un: 6)

Mush’ab melanjutkan: “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak terlintas dalam benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”

Maka sang ayah --Sa’ad bin Abi Waqqash-- menjawab: “Bukan begitu, wahai anakku. Yang dimaksud lalai dalam firman Alloh tersebut adalah menyia-nyiakan waktunya.”(Riwayat Abu Ya’la dalam Musnad-nya 2/63. Manhaj Tarbiyah lith Thifl. 108)

Demikian juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia berumur lima tahun ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka pengajar tersebut memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada surat Al Insan dan dia telah menghapalnya, suatu hari ibunya melihatnya sedang menghadap dinding memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka ibunya berkata: “Bangkitlah wahai Dawud, bermainlah bersama anak- anak yang lain!” Dawud tidak menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya, Dawud baru bereaksi, ia berkata: “Ada apa denganmu, wahai ibuku?”

Kata ibunya : “Di manakah pikiranmu, wahai anakku?”
“Bersama hamba-hamba Alloh,” jawab Dawud.
“Di mana mereka?” Tanya sang ibu.
“Di Surga,” jawab Dawud singkat.
Ibunya bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”
Mendengar pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13 sampai 21 yang mengabarkan kenikmatan Surga, yang artinya: “Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) mentari dan tidak pula dingin yang menyengat. Dan naungan (pohon-pohon Surga itu) dekat di atas mereka dan buah-buahannya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana dari perak dan gelas-gelas yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam Surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah zanjabil. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila engkau melihat mereka, engkau akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan. Dan apabila engkau melihat di sana (Surga) niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka (penghuni Surga) memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (QS: Al Insan: 13-21)

Subhanallah! Di usia mereka yang masih belia akal-akal mereka telah terasah untuk memikirkan ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, men-tadabburi-nya. Fitrah yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikan pada mereka terjaga bahkan terkuatkan dengannya. Bagaimanakah dengan anak-anak yang berada dibawah tanggung jawab kita?

Upayakanlah yang didengarkan anak-anak pertama kali adalah kalimat-kalimat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan memahamkan mereka sehingga mereka terbiasa mendengar dan mengucapkannya, dengan begitu hati-hati mereka menjadi cinta terhadap Al Qur’an dan mereka tumbuh di atasnya. Membiasakan anak untuk menghapal Al Qur’an sejak dini juga merupakan suatu pendidikan yang baik. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala mempermudah jalan bagi kita untuk mendidik generasi penerus Islam. Wallahu A’lam Bishshawwab.

(Sumber Rujukan: Kaifa Nurabbi Auladana, Asy Syaikh Jamil Zainu; Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl, Muhammad Nur Suwaid.; Tarbiyatul Abna’, Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi)

11 Maret 2009

Orangtua, Anak dan Sekolah

Jangan langsung cemas saat melihat anak kita tak cepat faham saat kita membantu menerangkan pelajaran padanya. Jangan pula langsung memvonis, ada yang kurang dengan otaknya atau mencapnya sebagai anak bandel karena tak memperhatikan. Kita harus ingat bahwa otak memiliki metode bereda-beda untuk bisa belajar dengan efektif. Ada yang lebih cocok dengan mendengarkan, ada yang dengan membaca dan adapula yang baru bisa belajar setelah praktek nyata di lapangan.
Kita juga tak perlu panik secara berlebihan ketika melihat nilai akhir atau rapor anak kita yang 'bersahaja', dengan nilai-nilai seadanya. Sebab, bisa jadi ada kecenderungan, bakat atau talenta lain yang ia miliki. Lemah di pelajaran, tapi ia sangat piawai soal manajerial, sangat suka dengan niaga dan semua yang berkaitan dengan perdagangan. Atau juga ia memiliki jiwa petualang atau mungkin pintar dalam komputer dan senang dengan berbagai perkembangan teknologi dan banyak potensi lain.
Melihat dua realita seperti ini, pertama kita hanya perlu evaluasi dan mencoba menerapkan metode pembelajaran yang pas. Dan yang kedua, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih memperhatikannya. Mendalami kecenderungan dan bakat positifnya, untuk kemudian kita salurkan dan optimalkan.
Akan tetapi ketika kita melihat anak kita memiliki sense beragama yang tak seberapa, juga ketaatan pada aturan-Nya yang sangat kurang, maka inilah masalah kita yang sebenarnya. Malas shalat, enggan membaca al Quran atau bahkan tidak bisa membaca, suka mengungkapkan kata-kata kotor, perilaku yang cenderung brutal dan memberontak pada orangtua dan lain sebagainya. Melihat semua ini, kita harus berpikir bahwa ada yang salah dalam pendidikan mereka. Dan prosentase introspeksi lebih besar harus kita tujukan pada diri sendiri sebagai orang tua. Sebab, secara tanggungjawab ilahiyah, kita tidak mungkin menimpakan batu kesalalahan pada orang atau faktor lainnya.
Paling tidak ada dua hal yang perlu kita evaluasi. Pertama, seberapa besar perhatian dan respon kita pada hal-hal yang sifatnya diniyah? Sebab, tak jarang, sebagian kita lebih tertarik dan cenderung memberikan apresiasi hanya pada prestasi-prestasi yang diraih anak dalam urusan duniawi. Kita beri hadiah saat ia juara menyanyi, kita puji saat ia pandai menguasai teknologi. Tapi prestasi-prestasi yang sifatnya diniyah, kita tak pernah ambil peduli. Dari perhatian yang kita berikan, anak akan membuat klasifikasi; yang ini penting karena orangtua memberikan apresiasi dan yang ini tidak penting karena toh orang tua juga tak menganggapnya penting.
Kedua, sudahkah kita memilihkan lingkungan yang baik untuknya? Jika disekitar rumah buruk kondisinya, kita bisa menilai sendiri, seberapa besar proteksi yang telah kita berikan? Dan yang lainnya adalah tentang sekolah. Dalam memilih sekolah, kita harus benar-benar teliti dan hanya asal anak senang. Sebab, lingkungan sekolah memiliki pengaruh cukup besar pada anak.
Prinsip dasar yang harus kita pegang adalah, Allah menciptakan manusia untuk beribadah pada-Nya. Dan kita diberi anugerah anak, bukan lain adalah untuk membentuknya menjadi hamba-Nya yang shalih, itulah tujuan utamanya. Wallahua'lam.

Tamasya Menuju Puncak

Ibarat mendaki gunung, kehidupan berumah tangga adalah perjalanan penuh liku yang tidak mudah. Ia juga tidak aman karena banyaknya ancaman dan godaan yang mengintai sepanjang perjalanan. Tapi, waktu terus akan melaju. Bertambah dari detik menuju detik berikutnya. Kita hanya harus memastikan bahwa pertambahan itu membawa kita menuju tujuan pendakian, puncak.
Jangan tanya betapa indah pemandangan yang akan tersaji dari atas puncak itu. Luar biasa! Demikian komentar para pendaki yang mampu menggapainya. Sebuah keindahan spektakuler yang memuaskan semua kenikmatan panca indera. Bahkan indera keenam; jiwa kita! Ia menggetarkan seluruh persendian dengan kenikmatan aneh. Benar-benar harga yang pantas untuk seluruh daya upaya yang telah kita kerahkan. Semua proses sulit itu telah terbayar lunas!
Tapi, berapa banyak dari kita yang bahkan tidak tahu bahwa ada puncak yang dituju. Dan bahwa mereka sedang berjalan mendaki? Berjalan berputar-putar kehilangan arah. Tersaruk-saruk kesakitan di jalan yang berdebu. Raga lelah di wajah muram dan penampilan kusut masai. Amboi, kata apalagi yang bisa mewakili keadaan mereka?
Padahal, hai, lihat! Keindahan ini bahkan bisa kita nikmati di sepanjang perjalanan. Sawah yang terbentang, sungai yang berkelok, mawar yang mewangi, pinus yang misterius, bahkan desir angin yang menusuk tulang, adalah fakta-fakta yang tersaji. Memang tidak sesempurna pemandangan di puncak sana, tetapi cukup untuk membayar jerih payah yang telah kita belanjakan.
Maka kita bisa beristirahat sejenak melepas lelah. Berbincang dengan teman perjalanan seraya menikmati dan mensyukuri perolehan sejauh ini, serta mengumpulkan tenaga untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Bukankah dengan demikian seluruh proses pendakian ini menjadi indah? Karena ada banyak puncak bukit sebelum puncak gunungnya sendiri. Dan itu harus kita nikmati!
Maka, marilah berbagi dengan isteri-isteri kita sebab merekalah teman perjalanan ini! Agar kita bisa merasai keindahan demi keindahan yang kita dapatkan bersama-sama, bahkan sejak menit pertama kita memutuskan menjadi tim pendakian puncak hidup berumah tangga; sakinah, mawadah, dan rahmah.
Saling membimbing, mengingatkan, dan berbagi bekal. Bersama-sama melacak peta jika kita merasa tersesat, bersama-sama menyemangati jika ada yang hampir menyerah, serta bersama-sama menikmati waktu istirahat di kala penat. Saling mendukung saling terhubung, sebab perjalanan ini milik kita bersama. Jangan egois dan saling menyalahkan sebab hal itu hanya akan merusak semuanya. Jangan suka membandingkan diri dengan rombongan yang lain sebab hal itu hanya akan membuat kita kecewa. Jangan berdebat kalau hal itu hanya meghamburkan energi.
Satu hal yang harus kita tahu, kecepatan perjalanan masing-masing dari kita berbeda-beda, hingga waktu yang kita butuhkan untuk sampai di puncak juga tidak akan sama. Namun itu tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah bahwa kita telah menempuh pendakian dan berusaha semaksimal mungkin menikmati seluruh prosesnya. Bahkan andai Allah menakdirkan kita tidak sampai ke puncak gunung karena satu dan lain hal. Kita harus percaya bahwa hal itulah yang terbaik, insyaallah. Toh, beberapa bukit telah kita lalui dan nikmati.
Kemudian, meski kita harus fokus menuju puncak, bukan berarti perjalanan ini harus tegang dan mencekam. Kita bahkan harus menciptakan suasana nyaman agar kondusif, sebab ini adalah tamasya. Beristirahat seperlunya ketika menghajatkan, menikmati bekal saat merasa lapar, mengambil air wudhu ketika waktu shalat tiba, mencium wewangian bunga yang menggoda, menghirup hembusan angin untuk melapangkan dada, bahkan menyapa orang lain yang kita temui.
Kita harus pandai-pandai mengatur keseimbangan agar semuanya berjalan dengan baik. Dalam kehidupan rumah tangga ia bernama kesehatan jasmani dan ruhani, kecukupan materi, keharmonisan keluarga, hubungan sosial yang sehat, kemajuan karir dan pengembangan diri yang terukur, serta merasakan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang halal.
Terakhir, kita harus tahu bahwa kemajuan perjalanan ini tidak diukur dari pencapaian-pencapaian besar. Tapi justeru dari yang kecil-kecil namun terakumulasi dengan baik. Ia serupa puzzle yang terangkai dari potongan demi potongan. Dalam hitungan panjang, ia bukan terukur dari meter atau kilometer. Namun dari centimeter ke centi meter berikutnya, bahkan seringkali dari millimeter ke millimeter setelahnya.
Maka, memastikan diri bahwa kita masih tetap berjalan ke depan dan tidak berbelok arah ke belakang, itu sudah cukup dan layak disyukuri. Apalagi jika kelelahan sudah demikian parah mendera. Kita harus tetap berfikir positif meski merasa tidak ada kemajuan. Kita juga harus tetap yakin akan sampai ke puncaknya meski kini sedang dalam perjalanan. Memohon pertolongan Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Sungguh, pendakian ini adalah kemestian yang harus kita ambil. Dan semua pengorbanan yang kita curahkan, akan mendapatkan balasan yang sepadan. Insyaallah! (Trias)

05 Maret 2009

5 Pilar Keluarga Sakinah

tentang-pernikahan.com - 5 pilar keluarga Sakinah

masyarakat adalah cerminan kondisi keleuarga, jika keluarga sehat berarti masyarakatnya juga sehat. Jika keluarga bahagia berarti masyarakatnya juga bahagia. Ada 5 pilar untuk membentuk keluarga sakinah diantaranya sebagai berikut.

1. Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan "nggemesi", sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.

2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu
(a) menutup aurat,
(b) melindungi diri dari panas dingin, dan
(c) perhiasan.
Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot" menyebalkan.

3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.

4. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst);
(a) memiliki kecenderungan kepada agama,
(b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda,
(c) sederhana dalam belanja,
(d) santun dalam bergaul dan
(e) selalu introspeksi.

5. Menurut hadis Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar'i), yakni
(a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah),
(b) anak-anak
yang berbakti,
(c) lingkungan sosial yang sehat , dan
(d) dekat rizkinya.