14 Maret 2009

Review Kecintaan anak pada kitabullah, menyelamatkan generasi Islam

by :TIM Redaksi Media Muslim.Info

Para Dai, para khotib, para aktifis Islam telah berkali-kali menyampaikan bahwa anak adalah generasi Islam masa depan yang harus kita jaga dan kita tanamkan Aqidah dan Akhlaq Islam semenjak dini. Namun disatu sisi (bahkan juga terdapat dari kalangan penyeru tadi), sering secara sadar atau tidak sadar, telah memunculkan upaya untuk merusak generasi Islam tersebut. Mulai dari acara-acara lomba nyanyi anak "Islam", lomba fashion show anak "Islam", dan masih banyak acara-acara lainnya yang selalu menggunakan label Anak "Islam".

Begitu mudahnya kita menemui anak-anak Islam dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu, bahkan nyanyian orang dewasa. Dan begitu asingnya anak-anak yang mengenal Agamanya, yang bisa membaca Al Qur'an dengan baik yang benar, yang mengetahui tentang Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berserta tuntunannya.

Mengenai senandung, sebenarnya perkara ini bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh sebelumnya Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkannya, yang artinya: “Akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat musik.” (HR: Bukhari dan Abu Daud)

Asy Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini: “Bahwasannya akan ada suatu kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina, memakai sutera asli, minum khamar, dan musik itu halal, padahal haram.” (Kaifa Nurabbi Auladana 47)

Mari kita renungkan didalam hati ini, apakah yang telah kita lakukan terhadap anak-anak, adik-adik, kemenakan, dan generasi muda Islam yang pembinaan dan pendidikannya berada dibawah tanggung jawab kita. Sudakah kita berupaya keras mendekatkan mereka dengan Syariat Islam? Adakah upaya kita menanamkan kecintaan anak terhadap Kitabulloh serta himbauan dan tuntunan untuk mengamalkannya? Ataukah kita hanya sekedar memberikan tawa gembira kepada mereka dengan mengadakan acara lomba senandung anak "Islam" atau lomba fashion show anak "Sholeh/ah"?

Jika kita ingin melihat sejarah umat Islam ini lebih dalam lagi, maka kita akan menengok generasi muda Islam terdahulu yaitu di zaman Salafus Sholeh (zaman para shohabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in). Sungguh alangkah indahnya di masa itu.

Memang sungguh sulit dan tidak bisa apabila generasi kita sekarang dibandingkan dengan mereka. Sungguh jauh sekali kita dibanding mereka, tapi seharusnya kita berusaha meneladani mereka sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal tersebut.

Generasi terbaik ummat ini telah memberikan teladan pada kita dalam masalah ini. Betapa tingginya semangat mereka dalam mengarahkan perbuatan anak-anak mereka agar selaras dengan Kitabullah. Kita bisa dapatkan para shahabat telah mengajarkan Al Qur’an sejak dini pada anak-anak mereka dan semua itu tidak lepas karena ittiba’ mereka kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “… akan tetapi jadilah kalian orang-orang rabbani karena apa yang kalian ajarkan dari Al Kitab dan karena yang kalian pelajari darinya.” (QS: Ali Imran: 79)

Dari Hadits Utsman radhiallahu 'anhu secara marfu’ bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR: Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5027)

Maka berikanlah perkara-perkara yang baik kepada mereka, ajarkan dan biasakanlah pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa melantunkannya dan timbul kecintaan pada hati-hati mereka dengan memahamkan makna-maknanya.

Al Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata: “Mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati mereka sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami (dipenuhi) oleh kekotoran maksiat dan kesesatan” (Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Tifl 104)

Mengajarkan Al Qur’an bukan sekedar membaca lafadh-lafadhnya dan menghapalkannya, namun melalaikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Seharusnya kita mengajarkan Al Qur'an dengan disertai keterangan yang mencukupi.

Salah satu sejarah yang bisa kita jadikan pelajaran bagi pendidikan anak Islam yang merupakan buah dari terasahnya kecerdasan dan kepekaan terhadap kandungan makna Al Qur’an adalah kisah pendidikan Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dia berkata kepada ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash: “Wahai ayahku, bagaimana pendapat ayah tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Yakni orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” (QS: Al Ma’un: 6)

Mush’ab melanjutkan: “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak terlintas dalam benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”

Maka sang ayah --Sa’ad bin Abi Waqqash-- menjawab: “Bukan begitu, wahai anakku. Yang dimaksud lalai dalam firman Alloh tersebut adalah menyia-nyiakan waktunya.”(Riwayat Abu Ya’la dalam Musnad-nya 2/63. Manhaj Tarbiyah lith Thifl. 108)

Demikian juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia berumur lima tahun ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka pengajar tersebut memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada surat Al Insan dan dia telah menghapalnya, suatu hari ibunya melihatnya sedang menghadap dinding memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka ibunya berkata: “Bangkitlah wahai Dawud, bermainlah bersama anak- anak yang lain!” Dawud tidak menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya, Dawud baru bereaksi, ia berkata: “Ada apa denganmu, wahai ibuku?”

Kata ibunya : “Di manakah pikiranmu, wahai anakku?”
“Bersama hamba-hamba Alloh,” jawab Dawud.
“Di mana mereka?” Tanya sang ibu.
“Di Surga,” jawab Dawud singkat.
Ibunya bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”
Mendengar pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13 sampai 21 yang mengabarkan kenikmatan Surga, yang artinya: “Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) mentari dan tidak pula dingin yang menyengat. Dan naungan (pohon-pohon Surga itu) dekat di atas mereka dan buah-buahannya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana dari perak dan gelas-gelas yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam Surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah zanjabil. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila engkau melihat mereka, engkau akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan. Dan apabila engkau melihat di sana (Surga) niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka (penghuni Surga) memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (QS: Al Insan: 13-21)

Subhanallah! Di usia mereka yang masih belia akal-akal mereka telah terasah untuk memikirkan ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, men-tadabburi-nya. Fitrah yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikan pada mereka terjaga bahkan terkuatkan dengannya. Bagaimanakah dengan anak-anak yang berada dibawah tanggung jawab kita?

Upayakanlah yang didengarkan anak-anak pertama kali adalah kalimat-kalimat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan memahamkan mereka sehingga mereka terbiasa mendengar dan mengucapkannya, dengan begitu hati-hati mereka menjadi cinta terhadap Al Qur’an dan mereka tumbuh di atasnya. Membiasakan anak untuk menghapal Al Qur’an sejak dini juga merupakan suatu pendidikan yang baik. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala mempermudah jalan bagi kita untuk mendidik generasi penerus Islam. Wallahu A’lam Bishshawwab.

(Sumber Rujukan: Kaifa Nurabbi Auladana, Asy Syaikh Jamil Zainu; Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl, Muhammad Nur Suwaid.; Tarbiyatul Abna’, Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar