14 Mei 2009

IT’S TIME FOR FLOOR TIME!

Secara umum, bermain merupakan aktifitas menyenangkan yang terjadi secara alamiah. Anak memiliki kesempatan luas untuk bereksplorasi dan berimajinasi secara aktif. Nah, floor time, selain menyenagkan, juga memiliki segudang manfaat, diantaranya:

MERANGSANG OTAK.
Bermain yang melibatkan orangtua dan anak secara efektif, akan membentuk emosi positif yang akan mengoptimalkan tumbuh kembang otak anak, Emosi positif menekan kadar kortisol (stress hormone) sehingga meningkatkan asupan glukosa pada hippocampus, bagian dari otak besar yang berperan pada kegiatan mengingat dan navigasi ruangan. Dengan begitu, hippocampus cukup punya energi menjalankan fungsinya sebagai pusat memori, Selanjutnya turut meningkat pula sejumlah fungsi neurotransmitter, yang memungkinkan sel saraf berkomunikasi satu sama lain. Selain membuat sel-sel saraf tidak mudah rusak. Ada pula yang mengatakan, metode floor time yang dilakukan setiap hari selama minimal 30 menit, dapat merangsang keseimbangan otak kanan dan otak kiri.

MENJALIN KEDEKATAN EMOSI.
Melalui floor time diharapkan dapat tercipta kedekatan emosi antara orangtua dan anak. Ini karena Floor Time dapat menjadi wadah untuk mencurahkan perasaan dan gagasan.

MENCIPTAKAN KOMUNIKASI TERBUKA
Pola komunikasi menjadi terbuka. Komunikasi antara anak dan orang tua berkembang baik. Bahkan kemampuan verbal anak pun berkembang karena teristimulasi.

MELATIH KONSENTRASI
Floor time pada intinya melakukan aktivitas bersama yang berkualitas tanpa gangguan dari pihak lain, bahkan televisi. Dengan begitu, anak bisa memberikan antensinya pada suatu kegiatan tertentu pada suatu waktu. Perhatiannya tidak terbagi-bagi. Otomatis itu akan melatih daya konsentrasinya. Anak bisa belajar lebih cepat karena kemampuannya berkonsentrasi.

Sumber : Nakita

04 Mei 2009

Sabar Menanti Si Buah Hati

Hampir setiap orang yang hidup berumah tangga, akan merindukan kehadiran seorang buah hati dalam kehidupannya. Mereka yang belum dikaruniai keturunan, akan melakukan berbagai ikhtiar untuk mendapatkannya. Ada kalanya mereka harus bersabar bertahun-tahun, untuk menunggu lahirnya buah hati. Tak jarang pula, mereka harus rela dengan takdir Allah, yang tidak memberikan keturunan hingga akhir hayatnya.
Anak memang harta yang tak ternilai, dan merupakan amanah dari Allah. Sudah selayaknya kita mensyukuri kehadiran mereka, serta berusaha membesarkan dan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya. Sungguh sangat disayangkan, bila saat ini banyak orangtua yang tak menghendaki kehadiran anaknya. Hingga mereka pun tega membuang anaknya sendiri atau menyia-nyiakannya.
Bagaimana kita akan mempertanggungjawabkannya di Hari Akhir nanti, bila ditanya apa yang telah kita lakukan pada anak-anak yang telah diamanahkan pada kita itu?
ANAK SEBERAPA PENTINGKAH?
Ada seorang laki-laki yang sudah berumah tangga selama 20 tahun, tetapi tidak memiliki anak. Kemudian dia menikah lagi, namun belum juga dikaruniai anak, bahkan akhirnya bahtera rumah tangganya dengan kedua istrinya harus berakhir. Akhirnya, laki-laki ini menikahi seorang janda yang sudah memiliki anak, untuk meyakinkan bahwa yang dinikahinya adalah wanita yang subur.
Beberapa waktu kemudian, istrinya pun melahirkan beberapa anak yang sudah sangat lama dia idam-idamkan. Betapa penting arti seorang anak yang terlahir dari darah dagingnya sendiri, bagi laki-laki ini.
Selain sebagai penerus keturunan dan pewaris apa yang kita miliki, anak juga adalah salah satu "perhiasan" dunia. Ketika masih bayi, ia adalah makhluk mungil yang lucu nan wangi, juga menggemaskan. Semua orang suka menimang dan bercanda dengannya. Setiap detik pertumbuhannya adalah kejutan, kebanggaan, dan kebahagiaan bagi orangtuanya.
Ketika anak mulai bisa tengkurap, merangkak, berjalan, dan mengucap sepatah dua patah kata, orangtua akan merasa girang bukan kepalang. Rumah tak akan terasa sunyi lagi, dengan hadirnya si buah hati. Suara canda, tawa, dan tangisnya akan selalu mengisi hari-hari. Saat orangtua harus meninggalkan rumah untuk mencari nafkah, maka bayangan anaknya akan selalu melintas, sehingga ia ingin segera pulang untuk melepas kerinduan.
Allah berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia, kecintaan kepada hal-hal yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali-'Imran: 14)
BELAJAR DARI NABI ZAKARIA
Betapa hidup akan terasa sepi, tanpa kehadiran si buah hati. Namun, bagi Anda yang belum dikaruniai amanah ini, tidaklah perlu berkecil hati. Mari, kita tengok sejenak kisah Nabi Zakaria.
Usia Nabi Zakaria telah senja. Rambutnya telah banyak beruban, dan tulang-tulangnya pun telah rapuh. Ia tidak dapat berjalan kecuali hanya pergi ke tempat ibadah yang telah menjadi kebiasaannya, dan menyampaikan nasihat-nasihatnya, kemudian disusul dengan beribadah. Setelah itu, di penghujung hari, ia kembali untuk menghabiskan gelap malam bersama istrinya yang juga sudah renta, di rumahnya.
Nabi Zakaria sangat ingin memiliki seorang anak. Namun, harapan itu hanya dipendam dalam hatinya, karena ia tahu, usianya dan istrinya sudah sangat renta. Hingga suatu hari, ketika ia menjenguk Maryam di mihrabnya, didapatinya keponakannya yang dalam pengasuhannya itu, tengah mendapatkan rezeki berupa buah-buahan yang tidak pada musimnya.
Padahal, Zakaria tak pernah mengizinkan orang lain untuk menjenguk Maryam. Dia benar-benar menjaga kesucian gadis yang ahli ibadah itu. Maka, Nabi Zakaria pun terheran-heran, dari mana Maryam mendapatkan buah-buahan itu?
Zakaria pun bertanya kepada Maryam, "Wahai Maryam, dari mana kamu memperoleh makanan ini?" Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah. Saat pagi datang aku melihat rezeki itu telah ada dan ketika sore tiba aku melihat rezeki itu telah ada. Padahal aku tidak mengusahakan rezeki tersebut, dan tidak pula meminta kebaikan itu kepada Allah. Rezeki itu mendatangiku sebagai sebuah anugerah, dan aku pun menemukannya di hadapanku dengan mudah. Lalu, mengapa Paman merasa bingung dan aneh? Bukankah Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas?"
Keterangan dari Maryam itu telah menyadarkan Zakaria, bahwa rahmat Allah itu sangat luas. Bila Allah Maha Kuasa memberi rezeki kepada Maryam berupa buah-buahan dalam mihrabnya, maka tentulah mudah bagi Allah untuk memberinya seorang anak, bila Dia menghendaki. Ya, meskipun dirinya dan istrinya sudah tua renta dan keriput, tetapi segala sesuatu adalah mudah bagi Allah .
Maka, dengan penuh keyakinan, dia pun memanjatkan doa kepada Allah,
"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku (orang-orang yang akan mengatur urusan orang banyak) sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah bagiku dari sisi-Mu seorang putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai.” (Maryam: 4-6)
Maka Allah pun menjawab doanya,
"Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu (yaitu engkau) akan (memperoleh) seorang anak yang bernama Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia." (Maryam: 7)
Demikianlah, akhirnya Allah mengaruniakan Yahya, seorang anak yang shalih lagi cerdas kepada Nabi Zakaria.
SEMUA PASTI ADA HIKMAHNYA
Setiap ketentuan Allah pasti ada hikmahnya. Demikian juga apa yang telah Dia tentukan untuk kita. Jika hingga saat ini rumah tangga kita belum juga dikaruniai keturunan, mungkin memang itulah yang terbaik buat kita. Barangkali kita memang belum benar-benar siap untuk menjadi orangtua yang baik. Mungkin pula, Allah memang sengaja menguji kesabaran kita atau Dia memiliki pertimbangan lain, yang tidak kita ketahui.
Allah berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216)
Yang pasti, jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Teruslah berdoa dan berikhtiar, kemudian terimalah apa yang telah menjadi ketentuan-Nya dengan ikhlas.
KIAT AGAR MEMPEROLEH KETURUNAN
Selain dengan memperbanyak doa, kiat-kiat sederhana berikut bisa Anda praktikkan:
1.Jalani pola hidup sehat, rajinlah berolah raga, dan konsumsi makanan yang bergizi seimbang.
2.Hindari stres dan kelelahan.
3.Sering-seringlah mengonsumsi makanan/suplemen yang menunjang kesuburan. Misalnya tauge, wortel, madu, habbatussauda,
4.Jauhi merokok serta alkohol. Kedua hal itu, selain haram, juga bisa menurunkan tingkat kesuburan.
5.Lakukan hubungan intim secara teratur, dan jagalah selalu kebersihan organ vital Anda agar terhindar dari berbagai kuman dan penyakit. (Oel)
Terakhir Diperbaharui ( Monday, 05 Rabi'ul Awal 1430 07:21 )

23 April 2009

Etika terhadap Suami-Istri

Abu Bakr Jabir al-Jazairi Orang Muslim meyakini adanya etika timbal balik antara suami dan istri, dan etika tersebut adalah hak atas pasangannya yang lain berdasarkan dalil-dalil berikut,

Firman Allah Ta ‘ala, "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana." (Al-Baqarah: 228).
Ayat yang mulia di atas menegaskan, bahwa setiap suami-istri mempunyai hak atas pasangannya, dan suami (laki-laki) diberi tambahan derajat atas wanita (istri) karena alasan-alasan khusus.

Sabda Rasulullah saw. di Haji Wada', "Ketahuilah, bahwa kalian mempunyai hak-hak atas wanita-wanita (istri-istri) kalian, dan sesungguhnya wanita-wanita (istri-istri) kalian mempunyai hak-hak atas kalian." (Diriwayatkan para pemilik Sunan dan At-Tirmidzi men-shahih-kan hadits ini).

Hak-hak ini, sebagian sama di antara suami-istri dan sebagiannya tidak sama. Hak-hak yang sama di antara suarni-istri adalah sebagian berikut:

1. Amanah

Masing-masing suami-istri harus bersikap amanah terhadap pasangannya, dan tidak mengkhianatinya sedikit atau banyak, karena suami istri adalah laksana dua mitra di mana pada keduanya harus ada sifat amanah, saling menasihati, jujur, dan ikhlas dalam semua urusan pribadi keduanya, dan urusan umum keduanya.

2. Cinta kasih

Artinya, masing-masing suami-istri harus memberikan cinta kasih yang tulus kepada pasangannya sepanjang hidupnya karena firman Allah Ta‘ala,

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (Ar-Ruum: 21).

Dan karena sabda Rasulullah saw., "Barangsiapa tidak menyayangi ia tidak akan disayangi." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).

3. Saling percaya

Artinya masing-masing suami-istri harus mempercayai pasangannya, dan tidak boleh meragukan kejujurannya, nasihatnya, dan keikhlasannya, karena firman Allah Ta‘ala, "Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara." (Al Hujurat: 10).

Dan karena sabda Rasulullah saw., "Salah seorang dan kalian tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri." (HR Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Ikatan suami-istri itu memperkuat, dan mengokohkan ikatan (ukhuwwah) iman.

Dengan cara seperti itu, masing-masing suami-istri merasa, bahwa dirinya adalah pribadi pasangannya. Oleh karena itu, bagaimana ia tidak mempercayai dirinya sendiri, dan tidak menasihatinya? Atau bagaimana seseorang itu kok menipu dirinya sendiri, dan memperdayainya?

4. Etika umum, seperti lemah lembut dalam pergaulan sehari-hari, wajah yang berseri-seri, ucapan yang baik, penghargaan, dan penghormatan. Itulah pergaulan baik yang diperintahkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).

Itulah perlakuan baik yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam sabdanya, "Perlakukan wanita dengan baik." (HR Muslim).

Inilah sebagian hak-hak bersama antar suami-istri, dan masing-masing dan keduanya harus memberikan hak-hak tersebut kepada pasangannya untuk merealisir perjanjian kuat yang diisyaratkan firman Allah Ta‘ala, "Bagaimana kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kalian penjanjian yang kuat." (An-Nisa': 21).

Dan karena taat kepada Allah Ta‘ala yang berfirman, "Dan janganlah kalian melupakan keutamaan di antara kalian, Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kalian kerjakan." (A1-Baqarah: 237).

Adapun hak-hak khusus, dan etika-etika yang harus dikerjakan masing-masing suami-istri terhadap pasangannya adalah sebagai berikut:

Hak-hak Istri atas Suami

Terhadap istrinya, seorang suami harus menjalankan etika-etika berikut ini:

1. Memperlakukannya dengan baik karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik." (An-Nisa': 19).

Ia memberi istrinya makan jika ia makan, memberinya pakaian jika ia berpakaian, dan mendidiknya jika ia khawatir istrinya membangkang seperti diperintahkan Allah Ta‘ala kepadanya dengan menasihatinya tanpa mencaci-maki atau menjelek-jelekkannya. Jika istri tidak taat kepadanya, ia pisah ranjang dengannya. Jika istri tetap tidak taat, ia berhak memukul dengan pukulan yang tidak melukainya, tidak mengucurkan darah, tidak meninggalkan luka, dan membuat salah satu organ tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya, karena firman Allah Ta‘ala,

"Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).

Sabda Rasulullah saw. kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang hak istri atas dirinya, "Hendaknya engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelek-jelekkannya, dan tidak mendiamkannya kecuali di dalam rumah." (HR Abu Daud dengan sanad yang baik).

Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa hak-hak wanita-wanita atas kalian ialah hendaknya kalian berbuat baik kepada mereka dengan memberi mereka makan dan pakaian."

Sabda Rasulullah saw., "Laki-laki Mukmin tidak boleh membenci wanita Mukminah. Jika ia membenci sesuatu pada pisiknya, ia menyenangi lainnya." (HR Muslim dan Ahmad).

2. Mengajarkan persoalan-persoalan yang urgen dalam agama kepada istri jika belum mengetahuinya, atau mengizinkannya menghadiri forum-forum ilmiah untuk belajar di dalamnya. Sebab, kebutuhan untuk memperbaiki kualitas agama, dan menyucikan jiwanya itu tidak lebih sedikit dan kebutuhannya terhadap makanan, dan minuman yang wajib diberikan kepadanya. Itu semua berdasarkan dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Wanita termasuk bagian dan keluarga laki-laki, dan penjagaan dirinya dan api neraka ialah dengan iman, dan amal shalih. Amal shalih harus berdasarkan ilmu, dan pengetahuan sehingga ia bisa mengerjakannya seperti yang diperintahkan syariat.

Sabda Rasulullah saw., "Ketahuilah, hendaklah kalian memperlakukan wanita-wanita dengan baik, karena mereka adalah ibarat tawanan-tawanan pada kalian." (Muttafaq Alaih).

Di antara perlakuan yang baik terhadap istri ialah mengajarkan sesuatu yang bisa memperbaiki kualitas agamanya, menjamin bisa istiqamah (konsisten) dan urusannya menjadi baik.

3. Mewajibkan istri melaksanakan ajaran-ajaran Islam beserta etika-etikanya, melarangnya buka aurat dan berhubungan bebas (ikhtilath) dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, memberikan perlindungan yang memadai kepadanya dengan tidak mengizinkannya merusak akhlak atau agamanya, dan tidak membuka kesempatan baginya untuk menjadi wanita fasik terhadap perintah Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, atau berbuat dosa, sebab ia adalah penanggung jawab tentang istrinya dan diperintahkan menjaganya, dan mengayominya, berdasarkan firman Allah Ta‘ala, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." (An-Nisa' 34).

Dan berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Seorang suami adalah pemimpin di rumahnya, dan ia akan diminta pertanggungan jawab tentang kepemimpinannya." (Muttafaq Alaih).

4. Berlaku adil terhadap istrinya dan terhadap istri-istrinya yang lain, jika ia mempunyai istri lebih dan satu. Ia berbuat adil terhadap mereka dalam makanan, minuman, pakaian, rumah, dan tidur di ranjang. Ia tidak boleh bersikap curang dalam hal-hal tersebut, atau bertindak zhalim, karena ini diharamkan Allah Ta‘ala dalam firman-Nya, "Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah) seorang saja, atau budak-budak wanita yang kalian miliki." (An-Nisa': 3).

Rasulullah saw. mewasiatkan perlakuan yang baik terhadap istri-istri dalam sabdanya, "Orang terbaik dan kalian ialah orang yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku orang terbaik dan kalian terhadap keluarganya." (HR Ath-Thabrani dengan sanad yang baik).

5. Tidak membuka rahasia istrinya dan tidak membeberkan aibnya, sebab ia orang yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga, dan melindunginya.

Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ialah suami yang menggauli istrinya, dan istrinya bergaul dengannya, kemudian ia membeberkan rahasia hubungan suami-istri tersebut." (Diriwayatkan Muslim).

Hak-hak Suami atas Istri

Terhadap suaminya, seorang istri harus menjalankan etika-etika berikut ini:

1. Taat kepadanya selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Th ‘ala, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Kemudian jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka." (An-Nisa': 34).

Sabda Rasulullah saw., "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur, kemudian istrinya tidak datang kepadanya, dan suaminya pun marah kepadanya pada malam itu, maka istrinya dilaknat para malaikat hingga pagi harinya." (Muttafaq Alaih).

"Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." (HR Abu Daud dan Al-Hakim. At-Tirmidzi meng-shahih-kan hadits mi).

2. Menjaga kehormatan suaminya, kemuliaanya, hartanya, anak-anaknya, dan urusan rumah tangga lainnya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta'ala, "Maka wanita-wanita yang shalihah ialah wanita-wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)." (An-Nisa': 34).

Sabda Rasulullah saw., "Seoranq istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan anaknya." (Muttafaq Alaih).

Sabda Rasulullah saw., "Maka hak kalian atas istri-istri kalian ialah hendaknya orang-orang yang kalian benci tidak boleh menginjak ranjang-ranjang kalian, dan mereka tidak boleh memberi izin masuk ke rumah kepada orang orang yang tidak kalian sukai." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

3. Tetap berada di rumah suami, dalam arti, tidak keluar kecuali atas izin dan keridhaannya, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, menjaga tangannya dari kejahatan, dan menjaga mulutnya dari perkataan kotor yang bisa melukai kedua orang tua suaminya, atau sanak keluarganya, karena dalil-dalil berikut:

Firman Allah Ta‘ala, "Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Al-Ahzab: 33).

"Maka janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya." (Al-Ahzab: 32).

"Allah tidak menyukai ucapan buruk." (An-Nisa': 148).

"Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya'." (An-Nuur: 31).

Sabda Rasulullah saw., "Wanita (istri) terbaik ialah jika engkau melihat kepadanya, ia menyenangkanmu. Jika engkau menyuruhnya, ia taat kepadamu. Jika engkau pergi darinya, ia menjagamu dengan menjaga dirinya dan menjaga hartamu." (HR Muslim dan Ahmad).

Sabda Rasulullah saw., "Kalian jangan melarang wanita-wanita hamba-hamba Allah untuk pergi ke masjid-masjid Allah. Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid, engkau jangan melarangnya." (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).

Sabda Rasulullah saw., "Izinkan wanita-wanita pergi ke masjid pada malam hari."

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 138-145.

09 April 2009

DO’s & DON’Ts

DO’s:

  • Berkata jujur dalam hal apa pun.
  • Tanamkan kebiasaan untuk mengatakan segala sesuatu apa adanya.
  • Untuk menjaga rahasia katakan ,”Mohon maaf, itu rahasia, tidak dapat dikatakan”.
  • Bersikaplah konsisten dalam menerapkan aturan.
  • Tanamkan pemahaman, kejujuran pasti akan membawa berkah dan keberuntungan.
  • Tumbuhkan kesadaran, Tuhan Maha Melihat.
  • Terapkan manajemen keuangan keluarga secara terbuka bagi seluruh anggota keluarga inti.
  • Ajari anak untuk jujur dalam memanfaatkan dan melaporkan keuangannya.
  • Berikan konsekuensi/sanksi tegas kepada siapa saja yang berlaku tidak jujur dirumah/sekolah.
  • Berikan selalu apresiasi yang tinggi terhadap sikap jujur anak.
  • Berikan penghargaan atas proses kerja keras dan kemandirian anak.
  • Latih anak menghargai milik orang lain.
  • Integrasikan pelajaran mengenai kejujuran dengan pelajaran-pelajaran lainnya.
  • Latih anak membedakan kebutuhan dari keinginan, dan mengendalikan diri ketika menginginkan sesuatu.
  • Biasakan anak mensyukuri segala sesuatu yang diraih dengan usaha sendiri.
  • Beri contoh tindakan membantu orang lain dengan tulus.
  • Mengevaluasi diri sendiri setiap hari mengenai perbuatan sepanjang hari.
  • Meminta maaf dan mengakui kesalahan bila gagal menerapkan suatu hal yang dikomitmenkan bersama.
  • Bahu membahu dengan pasangan dalam pendidikan moral anak dan dri sendiri.

DON’Ts:

  • Berkata bohong pada situasi apa pun.
Menyembunyikan sesuatu dari suami/istri yang sekiranya dapat melunturkan kepercayaan anak pada orangtua.
  • Menyebutkan jumlah yang tidak sesuai untuk pemakain uang keluarga, bisa dilebihkan bisa juga dikurangi.
  • Menyogok guru dengan maksud agar anak mendapatkan nilai-nilai bagus atau naik kelas.
  • Menyelesaikan segala persoalan dengan uang ketimbang menjalani prosedur atau aturan yang berlaku.

  • Menanamkan kebanggan diri yang tidak proporsional pada anak.

Narasumber: Henny E.Wirawan M.Hum, dari Universitas Tarumanegara, Jakarta

07 April 2009

PERANTAU

Hidup di dunia fana ini, walau di mana berada, bagaikan perantau. Perantau yang mencari bekalan dalam perjalanan ke kampong akhirat nan kekal abadi.

Dari Ibn Umar r.a. katanya: “Rasulullah SAW telah memegang bahuku dan bersabda : ‘Anggaplah dirimu di dunia ini sebagai seorang perantau, atau pengembara. Jika engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah engkau menunggu petang. Gunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakit. Dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang waktu mati.” [alHadith]

Sungguh, usah dibuai keindahan dunia hingga terlupa tujuan hidup ini. “ Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan ia hanya berupa permainan dan hiburan sedangkan kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui.” [Al- Ankabut:64].

Menghargai waktu yang ada, karena Allah juga telah mengajarkan kepentingan menggunakan waktu dengan sebaiknya; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh, dan berwasiat (nasihat-menasihati)dengan kebenaran dan berwasiat (nasihat-menasihati) dengan kesabaran.” [Al-‘Asr:1-3]. Saling nasehat-menasehati ke jalanNya, mudah-mudahan tergolong dalam ashabul yamin. “ Maka berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat.”

Dari Abu Hurairah r.a. katanya Rasulullah saw bersabda:” Siapa yang mengajak ke jalan kebenaran maka dia memperolehi pahala sebanyak pahala yang diterima oleh orang-orang yang mengikutinya,tidak kurang sedikitpun. Dan siapa yang mengajak ke jalan kesesatan maka dia memperolehi dosa sama banyak dosa orang-orang yang mengikutinya, tidak kurang sedikitpun.”[Riwayat Muslim]

Apapun yang engkau kehendaki

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (Thaha: 132)

Kerjakan apa yang menjadi kewajibanmu terhadap kami, dan Kami melengkapi bagimu bagian dari Kami. Di sini ada dua: pertama yang dijamin oleh Allah, maka jangan menuduh (su’uz zhan) terhadap Allah. Kedua yang dituntut oleh Allah, maka jangan kau abaikan.

Ibrahim Alkhawwash berkata: jangan memaksa diri untuk apa yang telah di jamin (di cukupi) dan jangan menyia-nyiakan (mengabaikan) apa yang diamanatkan (ditugaskan) kepadamu.

Firman Allah: Tuhanmulah yang menjadikan segala yang dikehendakiNya dan memeilihnya sendiri, tiada hak bagi mereka untuk memilih.

Anas ra. Berkata: Tiada seorang berdoa, melainkan pasti diterima oleh Allah doanya,…dst

Abul Abbas Almasri ketika ia sakit, dating seorang menjenguknya dan berkata kepadanya: Semoga Allah menyembuhkan kau (Afakallahu). Abul Abbas diam tidak menyahuti kata-kata itu.Kemudian orang itu berkata lagi: Allah Yu’aafika. Maka dijawab oleh Abul Abbas: Apakah kau kira saya tidak minta ‘afiyah kepada Allah, sungguh saya telah minta ‘afiyah, dan penderitaanku ini termasuk ‘afiyah, ketahuilah Raslullah saw minta ‘afiyah dan berkata: Selalu bekas makanan khaibir itu terasa olehku, dan kini masa putusnya urat jantungku.

Abu bakar Assidiq minta ‘afiyah dan menderita kesakitan, Umar bin Khattab minta ‘afiyah dan mati terbunuh. Usman bin Affan juga minta ‘afiyah dan juga mati tertikam. Ali bin Abi Thalib minta ‘afiyah juga mati terbunuh.

Maka bila kau minta ‘afiyah kepada Allah, mintalah menurut apa yang ditentukan oleh Allah untukmu, sebaik baiknya seorang hamba ialah yang ‘menyerah’ menurut kehendak Rabbnya, dan mempercayai bahwa yang diberi Rabbnya itulah yang terbaik baginya meskipun tidak cocok dengan hawa nafsunya.

Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Ankabut : 62)

04 April 2009

Lima Poin Pendidikan Anak Dalam Islam


oleh Siti Aisyah Nurm

Apakah yang menjadi hal-hal terpenting bagi seorang bunda dalam mendidik buah hatinya?

Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.

Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.

Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185)

Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:

Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.

Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.

Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.

Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:
1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.

Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.

Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) Pendidikan Keimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) Pendidikan Sosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.

Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:
Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam, (SAN)

Catatan:
- Lima Poin Pendidikan Anak: -1.Paradigma sukses-2.Mengenal Tahapan dan Sifat-3.Metode-4.Isi-5.Target.
- Buku Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) diterjemahkan dengan judul “Sistem Pendidikan Islam” terbitan Al-Ma’arif Bandung, dan buku Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) diterjemahkan dengan judul Pendidikan Anak Dalam Islam.

17 Maret 2009

Ketika Doa Tidak Dikabulkan…

Sayyidina Ali berkata, “Sesungguhnya hatimu telah berkhiaant kepada Allah dengan delapan hal, yaitu:

1. Engkau beriman kepada Allah, mengetahui Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya. Maka, tidak ada manfaatnya keimananmu itu.

2. Engkau mengatakan beriman kepada Rasul-Nya, tetapi engkau menentang sunnahnya dan mematikan syari’atnya. Maka, apalagi buah dari keimananmu itu?

3. Engkau membaca Al Qur’an yang diturunkan melalui Rasul-Nya, tetapi tidak kau amalkan.

4. Engkau berkata, “Sami’na Wa Aththa’na (Kami mendengar dan kami patuh), tetapi kau tentang ayat-ayatnya.

5. Engaku menginginkan syurga, tetapi setiap waktu melakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari syurga. Maka, mana bukyi keinginanmu itu?

6. Setiap saat engkau merasakan kenikmatan yang diberikan oleh Allah, tetapi tetap engkau tidak bersyukur kepada-Nya.

7. Allah memerintahkanmu agar memusuhi syetan seraya berkata, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh bagi(mu), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanay mengajak golongan supaya mereka menjadi penghuni neraka yang nyala-nyala” (QS. Al Faathir [35] : 6). tetapi musuhi setan dan bersahabat dengannya.

8. Engkau jadikan cacat atau kejelekan orang lain didepan mata, tetapi kau sendiri orang yang sebenarnya lebih berhak dicela daripada dia.

14 Maret 2009

Review Kecintaan anak pada kitabullah, menyelamatkan generasi Islam

by :TIM Redaksi Media Muslim.Info

Para Dai, para khotib, para aktifis Islam telah berkali-kali menyampaikan bahwa anak adalah generasi Islam masa depan yang harus kita jaga dan kita tanamkan Aqidah dan Akhlaq Islam semenjak dini. Namun disatu sisi (bahkan juga terdapat dari kalangan penyeru tadi), sering secara sadar atau tidak sadar, telah memunculkan upaya untuk merusak generasi Islam tersebut. Mulai dari acara-acara lomba nyanyi anak "Islam", lomba fashion show anak "Islam", dan masih banyak acara-acara lainnya yang selalu menggunakan label Anak "Islam".

Begitu mudahnya kita menemui anak-anak Islam dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu, bahkan nyanyian orang dewasa. Dan begitu asingnya anak-anak yang mengenal Agamanya, yang bisa membaca Al Qur'an dengan baik yang benar, yang mengetahui tentang Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berserta tuntunannya.

Mengenai senandung, sebenarnya perkara ini bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh sebelumnya Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkannya, yang artinya: “Akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar, dan alat musik.” (HR: Bukhari dan Abu Daud)

Asy Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini: “Bahwasannya akan ada suatu kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina, memakai sutera asli, minum khamar, dan musik itu halal, padahal haram.” (Kaifa Nurabbi Auladana 47)

Mari kita renungkan didalam hati ini, apakah yang telah kita lakukan terhadap anak-anak, adik-adik, kemenakan, dan generasi muda Islam yang pembinaan dan pendidikannya berada dibawah tanggung jawab kita. Sudakah kita berupaya keras mendekatkan mereka dengan Syariat Islam? Adakah upaya kita menanamkan kecintaan anak terhadap Kitabulloh serta himbauan dan tuntunan untuk mengamalkannya? Ataukah kita hanya sekedar memberikan tawa gembira kepada mereka dengan mengadakan acara lomba senandung anak "Islam" atau lomba fashion show anak "Sholeh/ah"?

Jika kita ingin melihat sejarah umat Islam ini lebih dalam lagi, maka kita akan menengok generasi muda Islam terdahulu yaitu di zaman Salafus Sholeh (zaman para shohabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in). Sungguh alangkah indahnya di masa itu.

Memang sungguh sulit dan tidak bisa apabila generasi kita sekarang dibandingkan dengan mereka. Sungguh jauh sekali kita dibanding mereka, tapi seharusnya kita berusaha meneladani mereka sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal tersebut.

Generasi terbaik ummat ini telah memberikan teladan pada kita dalam masalah ini. Betapa tingginya semangat mereka dalam mengarahkan perbuatan anak-anak mereka agar selaras dengan Kitabullah. Kita bisa dapatkan para shahabat telah mengajarkan Al Qur’an sejak dini pada anak-anak mereka dan semua itu tidak lepas karena ittiba’ mereka kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “… akan tetapi jadilah kalian orang-orang rabbani karena apa yang kalian ajarkan dari Al Kitab dan karena yang kalian pelajari darinya.” (QS: Ali Imran: 79)

Dari Hadits Utsman radhiallahu 'anhu secara marfu’ bahwa Rasululloh Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR: Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5027)

Maka berikanlah perkara-perkara yang baik kepada mereka, ajarkan dan biasakanlah pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa melantunkannya dan timbul kecintaan pada hati-hati mereka dengan memahamkan makna-maknanya.

Al Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata: “Mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati mereka sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami (dipenuhi) oleh kekotoran maksiat dan kesesatan” (Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Tifl 104)

Mengajarkan Al Qur’an bukan sekedar membaca lafadh-lafadhnya dan menghapalkannya, namun melalaikan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Seharusnya kita mengajarkan Al Qur'an dengan disertai keterangan yang mencukupi.

Salah satu sejarah yang bisa kita jadikan pelajaran bagi pendidikan anak Islam yang merupakan buah dari terasahnya kecerdasan dan kepekaan terhadap kandungan makna Al Qur’an adalah kisah pendidikan Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash.

Dia berkata kepada ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash: “Wahai ayahku, bagaimana pendapat ayah tentang firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Yakni orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” (QS: Al Ma’un: 6)

Mush’ab melanjutkan: “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak terlintas dalam benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”

Maka sang ayah --Sa’ad bin Abi Waqqash-- menjawab: “Bukan begitu, wahai anakku. Yang dimaksud lalai dalam firman Alloh tersebut adalah menyia-nyiakan waktunya.”(Riwayat Abu Ya’la dalam Musnad-nya 2/63. Manhaj Tarbiyah lith Thifl. 108)

Demikian juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia berumur lima tahun ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka pengajar tersebut memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada surat Al Insan dan dia telah menghapalnya, suatu hari ibunya melihatnya sedang menghadap dinding memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka ibunya berkata: “Bangkitlah wahai Dawud, bermainlah bersama anak- anak yang lain!” Dawud tidak menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya, Dawud baru bereaksi, ia berkata: “Ada apa denganmu, wahai ibuku?”

Kata ibunya : “Di manakah pikiranmu, wahai anakku?”
“Bersama hamba-hamba Alloh,” jawab Dawud.
“Di mana mereka?” Tanya sang ibu.
“Di Surga,” jawab Dawud singkat.
Ibunya bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”
Mendengar pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13 sampai 21 yang mengabarkan kenikmatan Surga, yang artinya: “Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak merasakan di dalamnya (teriknya) mentari dan tidak pula dingin yang menyengat. Dan naungan (pohon-pohon Surga itu) dekat di atas mereka dan buah-buahannya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana dari perak dan gelas-gelas yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam Surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah zanjabil. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan Salsabil. Dan mereka dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila engkau melihat mereka, engkau akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan. Dan apabila engkau melihat di sana (Surga) niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka (penghuni Surga) memakai pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang yang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (QS: Al Insan: 13-21)

Subhanallah! Di usia mereka yang masih belia akal-akal mereka telah terasah untuk memikirkan ayat-ayat Alloh Subhanahu wa Ta’ala, men-tadabburi-nya. Fitrah yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikan pada mereka terjaga bahkan terkuatkan dengannya. Bagaimanakah dengan anak-anak yang berada dibawah tanggung jawab kita?

Upayakanlah yang didengarkan anak-anak pertama kali adalah kalimat-kalimat Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan memahamkan mereka sehingga mereka terbiasa mendengar dan mengucapkannya, dengan begitu hati-hati mereka menjadi cinta terhadap Al Qur’an dan mereka tumbuh di atasnya. Membiasakan anak untuk menghapal Al Qur’an sejak dini juga merupakan suatu pendidikan yang baik. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala mempermudah jalan bagi kita untuk mendidik generasi penerus Islam. Wallahu A’lam Bishshawwab.

(Sumber Rujukan: Kaifa Nurabbi Auladana, Asy Syaikh Jamil Zainu; Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl, Muhammad Nur Suwaid.; Tarbiyatul Abna’, Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi)

11 Maret 2009

Orangtua, Anak dan Sekolah

Jangan langsung cemas saat melihat anak kita tak cepat faham saat kita membantu menerangkan pelajaran padanya. Jangan pula langsung memvonis, ada yang kurang dengan otaknya atau mencapnya sebagai anak bandel karena tak memperhatikan. Kita harus ingat bahwa otak memiliki metode bereda-beda untuk bisa belajar dengan efektif. Ada yang lebih cocok dengan mendengarkan, ada yang dengan membaca dan adapula yang baru bisa belajar setelah praktek nyata di lapangan.
Kita juga tak perlu panik secara berlebihan ketika melihat nilai akhir atau rapor anak kita yang 'bersahaja', dengan nilai-nilai seadanya. Sebab, bisa jadi ada kecenderungan, bakat atau talenta lain yang ia miliki. Lemah di pelajaran, tapi ia sangat piawai soal manajerial, sangat suka dengan niaga dan semua yang berkaitan dengan perdagangan. Atau juga ia memiliki jiwa petualang atau mungkin pintar dalam komputer dan senang dengan berbagai perkembangan teknologi dan banyak potensi lain.
Melihat dua realita seperti ini, pertama kita hanya perlu evaluasi dan mencoba menerapkan metode pembelajaran yang pas. Dan yang kedua, kita hanya perlu meluangkan waktu untuk lebih memperhatikannya. Mendalami kecenderungan dan bakat positifnya, untuk kemudian kita salurkan dan optimalkan.
Akan tetapi ketika kita melihat anak kita memiliki sense beragama yang tak seberapa, juga ketaatan pada aturan-Nya yang sangat kurang, maka inilah masalah kita yang sebenarnya. Malas shalat, enggan membaca al Quran atau bahkan tidak bisa membaca, suka mengungkapkan kata-kata kotor, perilaku yang cenderung brutal dan memberontak pada orangtua dan lain sebagainya. Melihat semua ini, kita harus berpikir bahwa ada yang salah dalam pendidikan mereka. Dan prosentase introspeksi lebih besar harus kita tujukan pada diri sendiri sebagai orang tua. Sebab, secara tanggungjawab ilahiyah, kita tidak mungkin menimpakan batu kesalalahan pada orang atau faktor lainnya.
Paling tidak ada dua hal yang perlu kita evaluasi. Pertama, seberapa besar perhatian dan respon kita pada hal-hal yang sifatnya diniyah? Sebab, tak jarang, sebagian kita lebih tertarik dan cenderung memberikan apresiasi hanya pada prestasi-prestasi yang diraih anak dalam urusan duniawi. Kita beri hadiah saat ia juara menyanyi, kita puji saat ia pandai menguasai teknologi. Tapi prestasi-prestasi yang sifatnya diniyah, kita tak pernah ambil peduli. Dari perhatian yang kita berikan, anak akan membuat klasifikasi; yang ini penting karena orangtua memberikan apresiasi dan yang ini tidak penting karena toh orang tua juga tak menganggapnya penting.
Kedua, sudahkah kita memilihkan lingkungan yang baik untuknya? Jika disekitar rumah buruk kondisinya, kita bisa menilai sendiri, seberapa besar proteksi yang telah kita berikan? Dan yang lainnya adalah tentang sekolah. Dalam memilih sekolah, kita harus benar-benar teliti dan hanya asal anak senang. Sebab, lingkungan sekolah memiliki pengaruh cukup besar pada anak.
Prinsip dasar yang harus kita pegang adalah, Allah menciptakan manusia untuk beribadah pada-Nya. Dan kita diberi anugerah anak, bukan lain adalah untuk membentuknya menjadi hamba-Nya yang shalih, itulah tujuan utamanya. Wallahua'lam.

Tamasya Menuju Puncak

Ibarat mendaki gunung, kehidupan berumah tangga adalah perjalanan penuh liku yang tidak mudah. Ia juga tidak aman karena banyaknya ancaman dan godaan yang mengintai sepanjang perjalanan. Tapi, waktu terus akan melaju. Bertambah dari detik menuju detik berikutnya. Kita hanya harus memastikan bahwa pertambahan itu membawa kita menuju tujuan pendakian, puncak.
Jangan tanya betapa indah pemandangan yang akan tersaji dari atas puncak itu. Luar biasa! Demikian komentar para pendaki yang mampu menggapainya. Sebuah keindahan spektakuler yang memuaskan semua kenikmatan panca indera. Bahkan indera keenam; jiwa kita! Ia menggetarkan seluruh persendian dengan kenikmatan aneh. Benar-benar harga yang pantas untuk seluruh daya upaya yang telah kita kerahkan. Semua proses sulit itu telah terbayar lunas!
Tapi, berapa banyak dari kita yang bahkan tidak tahu bahwa ada puncak yang dituju. Dan bahwa mereka sedang berjalan mendaki? Berjalan berputar-putar kehilangan arah. Tersaruk-saruk kesakitan di jalan yang berdebu. Raga lelah di wajah muram dan penampilan kusut masai. Amboi, kata apalagi yang bisa mewakili keadaan mereka?
Padahal, hai, lihat! Keindahan ini bahkan bisa kita nikmati di sepanjang perjalanan. Sawah yang terbentang, sungai yang berkelok, mawar yang mewangi, pinus yang misterius, bahkan desir angin yang menusuk tulang, adalah fakta-fakta yang tersaji. Memang tidak sesempurna pemandangan di puncak sana, tetapi cukup untuk membayar jerih payah yang telah kita belanjakan.
Maka kita bisa beristirahat sejenak melepas lelah. Berbincang dengan teman perjalanan seraya menikmati dan mensyukuri perolehan sejauh ini, serta mengumpulkan tenaga untuk menempuh perjalanan selanjutnya. Bukankah dengan demikian seluruh proses pendakian ini menjadi indah? Karena ada banyak puncak bukit sebelum puncak gunungnya sendiri. Dan itu harus kita nikmati!
Maka, marilah berbagi dengan isteri-isteri kita sebab merekalah teman perjalanan ini! Agar kita bisa merasai keindahan demi keindahan yang kita dapatkan bersama-sama, bahkan sejak menit pertama kita memutuskan menjadi tim pendakian puncak hidup berumah tangga; sakinah, mawadah, dan rahmah.
Saling membimbing, mengingatkan, dan berbagi bekal. Bersama-sama melacak peta jika kita merasa tersesat, bersama-sama menyemangati jika ada yang hampir menyerah, serta bersama-sama menikmati waktu istirahat di kala penat. Saling mendukung saling terhubung, sebab perjalanan ini milik kita bersama. Jangan egois dan saling menyalahkan sebab hal itu hanya akan merusak semuanya. Jangan suka membandingkan diri dengan rombongan yang lain sebab hal itu hanya akan membuat kita kecewa. Jangan berdebat kalau hal itu hanya meghamburkan energi.
Satu hal yang harus kita tahu, kecepatan perjalanan masing-masing dari kita berbeda-beda, hingga waktu yang kita butuhkan untuk sampai di puncak juga tidak akan sama. Namun itu tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah bahwa kita telah menempuh pendakian dan berusaha semaksimal mungkin menikmati seluruh prosesnya. Bahkan andai Allah menakdirkan kita tidak sampai ke puncak gunung karena satu dan lain hal. Kita harus percaya bahwa hal itulah yang terbaik, insyaallah. Toh, beberapa bukit telah kita lalui dan nikmati.
Kemudian, meski kita harus fokus menuju puncak, bukan berarti perjalanan ini harus tegang dan mencekam. Kita bahkan harus menciptakan suasana nyaman agar kondusif, sebab ini adalah tamasya. Beristirahat seperlunya ketika menghajatkan, menikmati bekal saat merasa lapar, mengambil air wudhu ketika waktu shalat tiba, mencium wewangian bunga yang menggoda, menghirup hembusan angin untuk melapangkan dada, bahkan menyapa orang lain yang kita temui.
Kita harus pandai-pandai mengatur keseimbangan agar semuanya berjalan dengan baik. Dalam kehidupan rumah tangga ia bernama kesehatan jasmani dan ruhani, kecukupan materi, keharmonisan keluarga, hubungan sosial yang sehat, kemajuan karir dan pengembangan diri yang terukur, serta merasakan kenikmatan-kenikmatan duniawi yang halal.
Terakhir, kita harus tahu bahwa kemajuan perjalanan ini tidak diukur dari pencapaian-pencapaian besar. Tapi justeru dari yang kecil-kecil namun terakumulasi dengan baik. Ia serupa puzzle yang terangkai dari potongan demi potongan. Dalam hitungan panjang, ia bukan terukur dari meter atau kilometer. Namun dari centimeter ke centi meter berikutnya, bahkan seringkali dari millimeter ke millimeter setelahnya.
Maka, memastikan diri bahwa kita masih tetap berjalan ke depan dan tidak berbelok arah ke belakang, itu sudah cukup dan layak disyukuri. Apalagi jika kelelahan sudah demikian parah mendera. Kita harus tetap berfikir positif meski merasa tidak ada kemajuan. Kita juga harus tetap yakin akan sampai ke puncaknya meski kini sedang dalam perjalanan. Memohon pertolongan Allah adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan.
Sungguh, pendakian ini adalah kemestian yang harus kita ambil. Dan semua pengorbanan yang kita curahkan, akan mendapatkan balasan yang sepadan. Insyaallah! (Trias)

05 Maret 2009

5 Pilar Keluarga Sakinah

tentang-pernikahan.com - 5 pilar keluarga Sakinah

masyarakat adalah cerminan kondisi keleuarga, jika keluarga sehat berarti masyarakatnya juga sehat. Jika keluarga bahagia berarti masyarakatnya juga bahagia. Ada 5 pilar untuk membentuk keluarga sakinah diantaranya sebagai berikut.

1. Dalam keluarga itu ada mawaddah dan rahmah (Q/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan "nggemesi", sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kurang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.

2. Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Q/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu
(a) menutup aurat,
(b) melindungi diri dari panas dingin, dan
(c) perhiasan.
Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceriterakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah "nglombrot" menyebalkan.

3. Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf), tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.

4. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst);
(a) memiliki kecenderungan kepada agama,
(b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda,
(c) sederhana dalam belanja,
(d) santun dalam bergaul dan
(e) selalu introspeksi.

5. Menurut hadis Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar'i), yakni
(a) suami / isteri yang setia (saleh/salehah),
(b) anak-anak
yang berbakti,
(c) lingkungan sosial yang sehat , dan
(d) dekat rizkinya.

12 Februari 2009

Mengenal sejarah islam di indonesia dan kebenaran hukum-hukum agama islam

Judul Artikel Mengenal sejarah islam dan kebenaran hukum-hukum agama islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin.

Pendahuluan
Islam (Arab: al-islām, الإسلام Bunyi dengarkan: “berserah diri kepada Tuhan”) adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama islam ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia , menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen. Islam memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Arab: الله, Allāh). Pengikut ajaran agama Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti “seorang yang tunduk kepada Tuhan”, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Agama Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.

Definisi Agama Islam yang khas dan menyeluruh

“Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad yang mengatur hubungan antara hamba dengan Rab-Nya, hubungan antara hamba dengan pribadinya sendiri, dan hubungan antar sesama manusia”.

Sejarah Islam

Masa sebelum kedatangan Islam

Jazirah Arab sebelum kedatangan agama Islam merupakan sebuah kawasan perlintasan perdagangan dalam Jalan Sutera yang menjadikan satu antara Indo Eropa dengan kawasan Asia di timur. Kebanyakan orang Arab merupakan penyembah berhala dan ada sebagian yang merupakan pengikut agama-agama Kristen dan Yahudi. Mekkah adalah tempat yang suci bagi bangsa Arab ketika itu, karena di sana terdapat berhala-berhala agama mereka, telaga Zamzam, dan yang terpenting adalah Ka’bah. Masyarakat ini disebut pula Jahiliyah atau dalam artian lain bodoh. Bodoh disini bukan dalam intelegensianya namun dalam pemikiran moral. Warga Quraisy terkenal dengan masyarakat yang suka berpuisi. Mereka menjadikan puisi sebagai salah satu hiburan disaat berkumpul di tempat-tempat ramai.

Masa awal Sejarah Islam
Negara-negara dengan populasi Muslim mencapai 10% (hijau dengan dominan sunni, merah dengan dominan syi’ah) (Sumber - CIA World Factbook, 2004).

Islam bermula pada tahun 611 ketika wahyu pertama diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di Gua Hira’, Arab Saudi.

Muhammad dilahirkan di Mekkah pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah (571 masehi). Ia dilahirkan ditengah-tengah suku Quraish pada zaman jahiliyah, dalam kehidupan suku-suku padang pasir yang suka berperang dan menyembah berhala. Muhammad dilahirkan dalam keadaan yatim, sebab ayahnya Abdullah wafat ketika ia masih berada di dalam kandungan. Pada saat usianya masih 6 tahun, ibunya Aminah meninggal dunia. Sepeninggalan ibunya, Muhammad dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib dan dilanjutkan oleh pamannya yaitu Abu Talib. Muhammad kemudian menikah dengan seorang janda bernama Siti Khadijah dan menjalani kehidupan secara sederhana.

Ketika Muhammad berusia 40 tahun, ia mulai mendapatkan wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril, dan sesudahnya selama beberapa waktu mulai mengajarkan ajaran Islam secara tertutup kepada para sahabatnya. Setelah tiga tahun menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi, akhirnya ajaran Islam kemudian juga disampaikan secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekkah, yang mana sebagian menerima dan sebagian lainnya menentangnya.

Pada tahun 622 masehi, Muhammad dan pengikutnya berpindah ke Madinah. Peristiwa ini disebut Hijrah, dan semenjak peristiwa itulah dasar permulaan perhitungan kalender Islam. Di Madinah, Muhammad dapat menyatukan orang-orang anshar (kaum muslimin dari Madinah) dan muhajirin (kaum muslimin dari Mekkah), sehingga semakin kuatlah umat Islam. Dalam setiap peperangan yang dilakukan melawan orang-orang kafir, umat Islam selalu mendapatkan kemenangan. Dalam fase awal ini, tak terhindarkan terjadinya perang antara Mekkah dan Madinah.

Keunggulan diplomasi nabi Muhammad SAW pada saat perjanjian Hudaibiyah, menyebabkan umat Islam memasuki fase yang sangat menentukan. Banyak penduduk Mekkah yang sebelumnya menjadi musuh kemudian berbalik memeluk Islam, sehingga ketika penaklukan kota Mekkah oleh umat Islam tidak terjadi pertumpahan darah. Ketika Muhammad wafat, hampir seluruh Jazirah Arab telah memeluk agama Islam.

Sejarah perkembangan islam pada masa Khalifah Rasyidin

Khalifah Rasyidin atau Khulafaur Rasyidin memilki arti pemimpin yang baik diawali dengan kepemimpinan Abu Bakar, dan dilanjutkan oleh kepemimpinan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib. Pada masa ini umat Islam mencapai kestabilan politik dan ekonomi. Abu Bakar memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam dan mengatasi pemberontakan beberapa suku-suku Arab yang terjadi setelah meninggalnya Muhammad. Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib berhasil memimpin balatentara dan kaum Muslimin pada umumnya untuk mendakwahkan Islam, terutama ke Syam, Mesir, dan Irak. Dengan takluknya negeri-negeri tersebut, banyak harta rampasan perang dan wilayah kekuasaan yang dapat diraih oleh umat Islam.

Perkembangan Islam Masa kekhalifahan selanjutnya

Setelah periode Khalifah Rasyidin, kepemimpinan umat Islam berganti dari tangan ke tangan dengan pemimpinnya yang juga disebut “khalifah”, atau terkadang “amirul mukminin”, “sultan”, dan sebagainya. Pada periode ini khalifah tidak lagi ditentukan berdasarkan orang yang terbaik di kalangan umat Islam, melainkan secara turun-temurun dalam satu dinasti (bahasa Arab: bani) sehingga banyak yang menyamakannya dengan kerajaan; misalnya kekhalifahan Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, hingga Bani Utsmaniyyah.

Besarnya kekuasaan kekhalifahan Islam telah menjadikannya salah satu kekuatan politik yang terkuat dan terbesar di dunia pada saat itu. Timbulnya tempat-tempat pembelajaran ilmu-ilmu agama, filsafat, sains, dan tata bahasa Arab di berbagai wilayah dunia Islam telah mewujudkan satu kontinuitas kebudayaan Islam yang agung. Banyak ahli-ahli ilmu pengetahuan bermunculan dari berbagai negeri-negeri Islam, terutamanya pada zaman keemasan Islam sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13 masehi.

Luasnya wilayah penyebaran agama Islam dan terpecahnya kekuasaan kekhalifahan yang sudah dimulai sejak abad ke-8, menyebabkan munculnya berbagai otoritas-otoritas kekuasaan terpisah yang berbentuk “kesultanan”; misalnya Kesultanan Safawi, Kesultanan Turki Seljuk, Kesultanan Mughal, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Malaka, yang telah menjadi kesultanan-kesultanan yang memiliki kekuasaan yang kuat dan terkenal di dunia. Meskipun memiliki kekuasaan terpisah, kesultanan-kesultanan tersebut secara nominal masih menghormati dan menganggap diri mereka bagian dari kekhalifahan Islam.

Pada kurun ke-18 dan ke-19 masehi, banyak kawasan-kawasan Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Kesultanan Utsmaniyyah (Kerajaan Ottoman) yang secara nominal dianggap sebagai kekhalifahan Islam terakhir, akhirnya tumbang selepas Perang Dunia I. Kerajaan ottoman pada saat itu dipimpin oleh Sultan Muhammad V. Karena dianggap kurang tegas oleh kaum pemuda Turki yang di pimpin oleh mustafa kemal pasha atau kemal attaturk, sistem kerajaan dirombak dan diganti menjadi republik.

Sejarah agama islam indonesia

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.

Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).

Hukum-hukum islam

Hukum-hukum islam terbagi pada tiga ranah kehidupan manusia.

1. Hukum Islam yang mengatur tentang urusan pribadi.

Ini tercakup pada masalah makan & minum, akhlak dan pakaian.

2. Hukum Islam yang mengatur tentang urusan Ibadah.

Ini tercakup pada masalah sholat, puasa, zakat, haji dll.

3. Hukum Islam yang mengatur tentang urusan masyarakat.

Ini tercakup pada masalah hudud uqubat dan muamalat.

Sehingga Islam mempunyai karakter sebagai pedoman hidup yang sempurna dan dijadikan sebagai ideologi bagi pemeluknya. Ini dikarenakan Islam mempunyai aturan-aturan atau hukum-hukum yang menyeluruh mencakup semua urusan manusia pada kehidupannya.

Perkembangan perjuangan hukum-hukum Islam Indonesia

Dukungan masyarakat terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia terus mengalami peningkatan. Dalam sebuah survey terbaru yang dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan data sekitar 72 persen masyarakat Indonesia ternyata setuju dengan penerapan syariat Islam. Sementara lainnya 18 persen tidak setuju dan 10 persen terserah.

Hasil survey SEM Institute juga menunjukkan sekitar 78 persen masyarakat menyatakan setuju bahwa berbagai problem/masalah yang dialami bangsa ini karena tidak diterapkannya Syariah (Islam) dalam kehidupan di berbagai bidang, sementara 7 persen tidak setuju dan 15 persen tidak tahu. Yang mengejutkan dari hasil survey tersebut, kata Panji, 84 persen masyarakat yakin atau sangat yakin bahwa Syariah Islam bisa membawa mashlahat dan satu-satunya solusi bagi problematika bangsa, sementara 7 persen menyatakan tidak tahu dan 9 persen menyatakan kurang atau tidak yakin.

Hasil menajubkan tentang meningkatnya kepercayaan umat islam kepada syariat dan hukum-hukum islam didorong oleh berbagai faktor. Mulai merebaknya opini tentang kewajiban penerapan syariat islam di Indonesia oleh berbagai komponen masyarakat antara lain dari peran media masyarakat, para pemimpin yang sadar terhadap syariat islam, para cendikiawan dan intelektual yang mulai memandang Islam memberikan solusi terbaik bagi permasalahan yang melanda Indonesia saat ini, dan peran organisasi-organisasi islam dalam mendakwahkan syariat islma antara lain MUI, NU, Muhammadiyyah, PERSIS, Al I’rsyad, Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, dan komponen umat lainnya.